Pencarian

Jumat, 24 Oktober 2014

SEJARAH PERMUSUHAN VIKING vs THE JAK

Di era teknologi informasi dan semua orang begitu mudah mendapatkan informasi utamanya melalui media-media sosial dan media online, karena diterima secara masiv dan cepat, maka seringkali hal-hal yang sesungguhnya keliru menjadi dianggap benar dan semakin disebarluaskan. Maka sebelum membahas perseteruan antara kedua kelompok suporter, ada baiknya kita meluruskan persepsi yang belakangan semakin keliru dan mengganggu.
Pertama adalah kekeliruan mengenai sejarah klub itu sendiri, banyak media baru yang menganggap dan meyakinkan banyak orang bahwa PERSIB vs Persija adalah laga klasik, bergengsi yang sejak dulu tak hanya seru didalam lapang namun juga luar lapang dan melibatkan banyak hal termasuk perseteruan suporter semenjak jaman perserikatan. Kenyataannya adalah: duel klasik yang melibatkan massa besar dan suporter fanatik serta layak disebut musuh bebuyutan bagi PERSIB diera perserikatan adalah laga-laga menghadapi duo ayam, yaitu Ayam Kinantan (PSMS Medan) dan Ayam Jantan Dari Timur (PSM Makasar)+bolehlah kita masukkan juga Persebaya Surabaya sebagai seteru.
Ya!, Bandung, Medan, Surabaya, dan Makasar adalah 4 kota yang dapat kita katakan memiliki tradisi sepakbola yang mengakar, maka tak heran suporter sepakbola ini mencakup 3 generasi (Kakek, Ayah , Anak), ini berbeda dengan kota-kota lain yang memiliki suporter yang identik dengan kelompok suporter (biasanya memiliki embel-embel mania dibelakangnya), bisa dipastikan eksistensi suporter jenis ini adalah trend yang menjamur diera pasca kompetisi perserikatan, termasuk Jakmania. Sehingga adalah kekeliruan besar bagi mereka yang mengatakan laga Persija vs PERSIB adalah laga klasik yang melibatkan suporter kedua tim selama puluhan tahun, dan lebih gilanya lagi ada juga media yang menyesatkan umat dengan mengatakan bahwa kandang Persija diera perserikatan adalah stadion Senayan, padahal kandang Persija diera perserikatan adalah stadion menteng yang sekarang telah digusur.
Jika dikatakan bahwa Persija Jakarta pernah menjadi tim bagus diera perserikatan, ya itu betul karena mereka memang memiliki masa-masa itu tapi tetap harus diingat bahwa prestasi bagus Persija dimasa lalu tidak berbanding lurus dengan jumlah massa pendukung mereka, sebelum lahirnya Jakmania penonton laga Persija hanyalah simpatisan-simpatisan dan keluarga pengurus yang jumlahnya tentu tidak seberapa.
Perlu diketahui juga oleh para bobotoh muda bahwa jika membicarakan tim Jakarta yang layak diperhitungkan saat kita berbicara era awal liga Indonesia maka tim itu adalah tim Pelita Jaya Jakarta, mereka memiliki kelompok pendukung bernama the Commandos yang identik dengan anak-anak kaya, cewek-cewek cantik, yang tentu saja jumlahnya sangat-sangat sedikit, bahkan stadion mini mereka yaitu stadion lebak bulus pun tak pernah penuh jika Pelita Jaya bermain.
Kembali ke Persija, diawal era liga Indonesia (sekitar tahun 1994-1995), Persija dapat dikatakan tim yang tak diperhitungkan, minim dana, pemain-pemain gurem, stadion menteng yang kurang perawatan dan selalu sepi, dan satu hal yang perlu diingat bahwa warna tim Persija adalah merah bukan oranye seperti sekarang. Semua berubah sekitar tahun 1997, adalah seorang gugun gondrong pelaku utamanya, dalam sebuah memoar yang saya ingat dia pernah mengatakan cukup gerah dengan ke Jakartaan kota Jakarta yang semakin tersingkir oleh pendatang, salah satu parameternya dari kehadiran penonton sepakbola saat Persija bermain.
Jika Persija menjamu PSMS yang menuhin stadion menteng pastilah orang batak, jika menjamu PSIS atau persebaya pastilah orang jawa yang mendominasi, begitupun saat meladeni PERSIB, pastilah urang sunda yang menyesaki menteng. Intinya disanalah gugun mulai menyentuh sisi emosional orang-orang yang sehari-hari hidup di Jakarta bahwa saatnya menanggalkan klub daerah masing-masing dan mendukung tim dimana mereka beraktivitas yaitu Persija. Dan tentu saja bukanlah hal mudah untuk menyentuh sisi emosional ini, apalagi memaksa seseorang untuk mendukung salah satu tim sepakbola. Hal ini perlu dirangsang dan bersambutlah seorang Sutiyoso yang membutuhkan “kelompok sayap” untuk menopang kekuatan politisnya, 2 yang paling menonjol menurut saya adalah upaya sutiyoso untuk menggandeng Jakmania dan FBR, saya tak taulah tentang FBR, namun untuk Jakmania saya tahu bahwa mereka dirangsang dengan tiket-tiket gratis bahkan disediakan hingga tingkat kelurahan, dan upaya rekayasa membangun fanatisme ini diupayakan juga dengan angkutan-angkutan umum gratis seperti metromini yang menjemput dan mengangkut mereka ke stadion. Sungguh berbeda bukan dengan fanatisme alami ala bobotoh yang harus mencari setengah mati tiket-tiket berharga mahal dan susah payah mencapai lokasi pertandingan.
Pasca sentuhan Sutiyoso inilah Persija dan suporternya bertransformasi memasuki era baru yang membuat mereka diperhitungkan. Berbicara mengenai pembangunan suporter, Jakmania pun tentunya memerlukan rujukan dan konon kota Bandunglah yang mereka jadikan rujukan, maka tak perlu heran jika pengurus-pengurus Jakmania pada awalnya justru sering berkunjung ke bilangan gurame di kota Bandung untuk “belajar”, tepatnya di markas salah satu kelompok bobotoh yaitu Viking. Maka tak perlu heran jika pada awalnya pengurus kedua kelompok suporter ini sebenarnya saling mengenal dan jauh dari bayangan keadaan saat ini. Lebih jauhnya saya tak ingin terlalu banyak menulis mengenai ini karena saya hanya mendengar sepotong-sepotong saja dan khawatir itu pun tidak valid seutuhnya. Oleh karena itu saya ingin langsung beranjak kepada salah satu momentum yang saya alami sendiri yaitu bentrokan pertama suporter PERSIB dengan Jakmania, saya sengaja mengatakan “suporter PERSIB”, dan bukannya menyebut Viking ataupun bobotoh karena konon yang terlibat dalam bentrokan ini bukanlah anak-anak Viking tapi menyebut bobotoh pun tak elok karena dapat menyeret dan menggeneralisir.
Gesekan pertama
Gesekan pertama terjadi sekitar tahun 1999 di Siliwangi Bandung, saat itu Persija yang disuntik dana besar oleh Sutiyoso hadir dengan materi-materi terbaik dimasanya seperti Luciano Leandro, Dedi Umarella dll, sedangkan PERSIB bermaterikan pemain-pemain veteran dan lokal yang tak terlalu mentereng namanya. Luar biasa animo bobotoh dalam laga ini, saya ingat betul saat itu sulit sekali untuk mendapatkan tiket tribun timur, dulu Viking masih menguasai tribun selatan, dan elemen-elemen bobotoh yang menjadi cikal bakal BOMBER masih tersebar seperti stone lovers, suporter forever, BFT, Provost PERSIB, Vorib, robokop, Casper, tiger fortune dll.
Disaat itu puluhan ribu bobotoh masih tertahan diluar tak dapat masuk stadion, sementara suasana di dalam stadion pun semakin tak nyaman karena penonton berdesakan. Disaat itulah tiba-tiba banyak bus mendekat ke area stadion, mereka adalah bus-bus yang membawa Jakmania, kalau tidak salah ada sekitar 7 bus, cukup banyak memang karena gratisan dan disupport dana oleh sutiyoso. Terbayang apa yang terjadi, disaat “penduduk asli” yaitu suporter tuan rumah pun emosi karena tidak dapat masuk stadion, tiba-tiba datanglah “tamu tak diundang” dari ibukota, dengan gaya yang mungkin dianggap kurang berkenan maka terjadilah gesekan itu, saya kurang tau persisnya namun beberapa bus memutar ke arah jalan menado dengan kaca-kaca pecah dan terdengar kata-kata makian.
Alkisah PERSIB kalah hari itu, kericuhan terjadi di dalam dan di luar stadion, saya ingat benar saat itu Luciano Leandro kepalanya bocor terkena lemparan batu, dan musim itu adalah musim dimana jerseynya sangat saya suka yaitu apparel reebok, cukup elegan dan simpel, harga originalnya di toko olahraga berkelas di BiP sekitar Rp. 79.000,00 , harga yang terbilang cukup mahal pada saat itu (cik mun ayeuna aya keneh jersey eta harga sakitu diborong tah ku aing!- teu make anj!#*).
Gesekan berlanjut
Di masa itu PERSIB memang kurang bersinar, nama besar dan loyalitas bobotoh-nya lah yang membuat PERSIB tetap disegani, dan diantara keredupannya itu, tetap ada satu nama yang mampu menjada track PERSIB sebagai penyuplai pemain untuk tim nasional setelah berakhirnya era Robi Darwis, satu-satunya pemain PERSIB yang tetap dipanggil oleh tim nasional itu adalah pemilik VO2MAX tertinggi di timnas pada saat itu, salah satu pemain favorit penulis, dia adalah Yaris Riyadi.
Dengan adanya satu wakil PERSIB di timnas maka sudah menjadi alasan yang cukup kuat bagi bobotoh untuk tetap setia memberi dukungan kepada tim merah putih, terutama saat berlaga di GBK, dan diantara mereka yang rajin nonton timnas adalah anak-anak Viking Jabodetabek (sekarang kan memekarkan diri menjadi vkg bekasi, bogor dsb), nah konon katanya, euceuk, ceunah, meureun, sejak kejadian bentrok di Bandung itu, anak-anak Jakmania mulai melakukan intimidasi dan gangguan-gangguan serius kepada anak-anak Viking jabodetabek ataupun para penonton asal Bandung, alkisah makin lama makin hot dan dibalas pula dalam setiap kesempatan meskipun itu diluar laga PERSIB vs Persija. Salah satu yang saya ingat adalah gangguan yang ditujukan pada Jakmania ketika Persija bertandang ke kandang persikab di stadion sangkuriang cimahi, rupanya acara ganggu-mengganggu ini cukup banyak juga peminatnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa peletup dan momentum yang membuat pertikaian ini semakin membara dan sulit padam adalah kejadian setelah kuis siapa berani di Indosiar. Saat itu anak-anak Viking yang tampil sebagai jauara kuis rupanya telah diincar dan siap dihabisi sejak mulai studio hingga jalan tol, insiden terhebat adalah di pintu tol tomang, anak-anak Viking di hajar habis-habisan dan ya begitulah tak perlu diceritakan secara detail.
Bentrokan terhebat yang terjadi pasca insiden kuis siapa berani terjadi sekitar tahun 2001. Saat itu PERSIB dijamu Persija di GBK Jakarta, kebetulan saat itu isu-nya masih terbatas Viking dan Jakmania, belum bobotoh ataupun suporter PERSIB secara keseluruhan. Saya masih ingat saat itu anak-anak Viking berangkat menggunakan banyak bus, sedangkan Bobotoh lain berangkat menggunakan banyak mobil pribadi,termasuk saya yang memilih menggunakan minibus bersama kawan-kawan.
Jika tak salah dulu kami masih menggunakan jalan via Puncak belum Cipularang, semua masih tertawa-tawa hingga kami memasuki tol dalam kota Jakarta. Disamping kami di jalan reguler melaju sejajar sebuah metromini sarat Jakmania yang terus menunjuk-nunjuk kami dan meneriaki mobil kami, saat itu atmosfer permusuhan belum separah sekarang sehingga ya berani-berani saja tetap kibar bendera biru dan memakai baju PERSIB, karena yang punya masalah kan Viking dan Jakmania, sedangkan kami yang tidak bergabung dengan rombongan seharusnya aman, itu cara pikir bobotoh kebanyakan. Karena beberapa mobil plat D didepan pun tak melepas bendera PERSIB mereka, dan rupanya itu adalah ide buruk…sangat-sangat buruk. Lepas dari tol, mobil kami beserta 2 mobil lainnya dikejar oleh ratusan Jakmania. Segeralah gas ditancap dengan maksud melarikan diri, namun tak diduga macet luar biasa di depan TVRI, mobil kami terhenti dan segeralah Jakmania mengerubungi mobil kami, bunyi keras sekali entah apa yang mereka gunakan untuk menghajar bodi mobil dan kaca, pendek cerita, kaca mulai pecah dan rontok, kawan-kawan yang duduk paling dekat dengan jendela pun terkena pukulan langsung. Saya masih ingat andai TUHAN tak segera menolong kami saat itu mungkin kami akan menjadi bulan-bulanan paling parah ya mati dan saya tak mungkin menulis tulisan ini. Pertolongan TUHAN itu adalah ketenangan luar biasa dari sang sopir, meski darah mengalir dari kepalanya dia tetap dapat melihat jalan kecil sisa galian kabel di tepi jalan dan segera melewati jalan itu, terlewatilah masa-masa yang tak akan pernah kami lupakan itu.
Kami dipandu oleh salah seorang Viking jabotabek bernama Agus Rahmat dan segera mengamankan diri ke area lapangan hoki, sementara yang lain mencoba menghentikan pendarahan dan melakukan pertolongan pertama. Sementara itu menurut kabar anak-anak Viking pun terlibat bentrokan hebat dan tak dapat masuk stadion, bentrokan terjadi di luar dan dalam stadion karena beberapa kawan yang bisa masuk stadion (konon mereka ini adalah anak-anak jabodetabek) berada dalam jangkauan Jakmania sehingga polisi menembakkan gas air mata untuk menghalau the jak, imbasnya sampai ke lapangan, konon Aceng Juanda cs pun bergelimpangan di lapangan hijau akibat gas airmata ini, PERSIB kalah 0-3 dan bagi sebagian orang yang menjadi korban insiden pada hari itu, mereka telah menemukan alasan untuk menyatakan perang seumur hidup kepada Jakmania, slogan-slogan permusuhan pun mulai marak dan menjadi komoditas ekonomi untuk dicetak pada kaos-kaos suporter.
Jessica vania member jkt48 meminta maaf kepada semua fans jkt48 di Teater.

semangat jeje jkt48

Kamis, 23 Oktober 2014

SEJARAH PERSAUDARAAN BONEK DAN VIKING

Kita lihat sejarah, BONEK & VIKING adalah pendukung sejati dari klub perserikatan yang sudah menjadi musuh bebuyutan dari sejak jaman perserikatan, yaitu PERSIB dan PERSEBAYA. Dilihat dari kacamata awam, tidak mungkin pendukung sejati yang berani mati demi mendukung timnya bisa bersahabat bahkan bersaudara dengan pendukung sejati yang sama-sama berani mati demi mendukung tim musuh bebuyutan. Tetapi ternyata BONEK dan VIKING membuktikan bahwa kita bisa. Persaudaraan Kita dilandasi perasaan senasib dimana kita selalu dijadikan bahan hujatan dan pendiskreditan dari masyarakat sepakbola nasional. Bahkan pers nasional pun paling senang apabila ada kerusuhan di partai yang melibatkan PERSIB atau PERSEBAYA karena bisa dijadikan headline dan sudah jelas pihak mana yang akan disalahkan.
Sejak dulum BONEK-VIKING diidentikkan dengan kerusuhan. Istilahnya dimana ada pertandingan yang ditonton oleh VIKING atau BONEK maka akan terjadi kerusuhan. Hal-hal jelek dan bersifat mendiskreditkan itulah yang lebih sering diekspos oleh media massa nasional. Padahal tidak semua kegiatan atau kelakuan VIKING dan BONEK berujung pada kerusuhan. Dan tidak semua kerusuhan itu diakibatkan oleh mereka. Mereka hanyalah kaum tertindas yang selalu dipersalahkan karena dosa-dosa di masa lalu. Sangat jarang sekali (atau bahkan tidak pernah?) media massa nasional memberitakan kegiatan positif yang VIKING atau BONEK lakukan. Sangat jauh berbeda dengan pemberitaan media massa nasional tentang pendukung tim lain. Ketika terjadi kerusuhan yang melibatkan mereka hanya ditulis sedikit (atau bahkan tidak ditulis sama sekali?) dan ditutupi dengan kata-kata “oknum yang mengatasnamakan pendukung…”. What a bullshit! Sedangkan ketika melakukan kegiatan positif, media massa nasional langsung memberitakan secara besar-besaran, sebesar berita kerusuhan yang melibatkan VIKING atau BONEK. Bahkan saking terlalu seringnya pemberitaan yang memojokkan VIKING sebagai bobotoh PERSIB, bobotoh lain yang bukan anggota VIKING pun menjadi antipati terhadap media massa nasional. Sampai ada jargon di kalangan bobotoh bahwa “PERSIB besar bukan karena pemberitaan media massa nasional, PERSIB besar karena bobotoh dan prestasi. PERSIB dan bobotoh tidak membutuhkan media massa nasional untuk menjadi besar. Media massa nasional-lah yang membutuhkan PERSIB untuk menjadi besar dan terkenal”.
Hal itulah yang mungkin menjadi salah satu penyebab munculnya perasaan senasib dan berkembang menjadi ikatan persaudaraan, selain tentunya kerusuhan di Jakarta dimana BONEK yang hendak mendukung PERSEBAYA di Senayan diserang oleh sepasukan organisasi masyarakat (?), yang tidak usah saya sebutkan disini karena semua juga sudah tau, dan kemudian diselamatkan oleh beberapa bobotoh (anggota VIKING) yang kebetulan sedang ada disana. Juga ketika PERSIB melawat ke Surabaya, dimana anggota VIKING yang mendukung PERSIB di sana dijamu sangat baik oleh BONEK. Demikian pula ketika PERSEBAYA yang bertanding di Bandung, giliran BONEK yang dijamu sangat baik oleh VIKING.
Indahnya persaudaraan diantara dua kubu suporter TERBESAR di Indonesia itu. Jadi saat ini BONEK bukan hanya berarti BONDO NEKAT, tapi bisa juga berarti BOBOTOH NEKAD.
Karena VIKING atau BONEK sama saja!

''SAVE 1927-1933"
SEJARAH LAHIRNYA VIKING PERSIB

Sebelum organisasi dan kelompok suporter  klub di Indonesia mulai menjamur pada akhir 1990-an, Viking Persib Fans Club sudah berkibar. Kelompok suporter Persib dengan jumlah anggota resmi terbesar ini sudah mendeklarasikan diri pada 17 Juli 1993.

Awalnya hanya segelintir Bobotoh yang setia menyaksikan Persib baik di laga kandang maupun tandang. Kini Viking sudah dikenal seantero Indonesia sebagai salah satu kelompok suporter terbesar.

“Awalnya hanya beranggotakan beberapa orang saja, di era Perserikatan kita biasanya menonton dan membentangkan spanduk di tribun selatan,” tutur Dirigen Viking, Yana Mulyana.

Nama Viking sendiri diakui pria yang akrab disapa Yana Bool ini terinspirasi dari suku bangsa Viking di Skandinavia yang dikenal gemar menjelajahi.

“Karena kita juga sering ikut tur tandang Persib, maka ada sedikit kesamaan dengan bangsa Viking. Karena itu, kita sengaja menamakan diri sebagai Viking,” ucap Yana.

Ketua Umum Viking, Heru Joko yang termasuk salah seorang pencetus berdirinya Viking Persib Fans Club. Ia mengungkapkan tak pernah menyangka jika organisasi suporter yang dipimpinnya tersebut bakal berkembang pesat dan dikenal luas.

Sekadar diketahui selain Heru, nama-nama lain yang dikenal sebagai pentolan sekaligus pencetus Viking adalah Ayi Beutik, Dodi “Pesa” Rokhdian, Hendra Bule, dan Aris Primat.

“Tak pernah menyangka saja bisa sebesar seperti sekarang. Yang jelas saya pribadi sangat bangga oleh keberadaan Viking sebagai kelompok suporter Persib terbesar,” ucap Heru.

Seiring dengan waktu dari mulai sedikit anggota, kini Viking sudah memiliki anggota resmi lebih dari 70 ribu yang tersebar di seluruh Kota dan Kabupaten di Jawa Barat bahkan di hampir setiap provinsi pun ada Distrik Viking. Termasuk Jakarta yang notabene merupakan wilayah tempat bernaung seteru Viking yakni The Jakmania, suporter Persija Jakarta.

Sejarah PERSIB 1933-1940

 

Sebelum lahir nama Persib, pada tahun 1923 di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB). BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakn i R. Atot.

BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain bernama Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada 14 Maret 1933 kedua klub itu sepakat melebur dan lahirlah perkumpulan baru yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai ketua umum. Klub- klub yang bergabung ke dalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi. Setelah tampil tiga kali sebagai runner up pada Kompetisi Perserikatan 1933 (Surabaya), 1934 (Bandung), dan 1936 (Solo), Persib mengawali juara pada Kompetisi 1939 di Solo.

Sumber: Lintas Sejarah Persib, Risnandar Soendoro

Translate